10 April 2014

Opini AEC #7

BY Unknown No comments

Masih nggalau sebagai mahasiswa teknologi pertanian yang pada akhirnya akan menyandang gelar S.TP? *aamiin. yuk mari kita simak opini dari mbak Miranti :) #opiniawakAGRITA
Locally Modern Food
            Sudah pada tahu tentang AEC alias ASEAN Economic Community? Kita sebagai mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian wajib banget nih untuk tahu AEC J Penjelasan mudahnya, AEC adalah berlakunya kebijakan di Asia Tenggara untuk menggratiskan bea cukai antar negara. Istilahnya, memudahkan jalan ekspor bagi suatu negara. Hal ini tentu menguntungkan bagi negara-negara yang sudah siap bersaing di kancah perdagangan internasional. Negara kita? Gimana nih? Apakah kita termasuk?
            Mungkin belum banyak yang aware dengan AEC yang akan diberlakukan tahun 2015 nanti. Padahal hal ini sangat potensial untuk Indonesia, JIKA kita SIAP J Mengapa bisa dibilang potensial? Ya, Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam melimpah. Sadarkah teman-teman, sebenarnya kita punya banyak sumber bahan pangan yang masih teranaktirikan karena kita masih terfokus dengan beberapa sumber bahan pangan saja. Tak dipungkiri, selera anak sekarang juga sudah berbeda dengan orangtua sehingga sudah banyak anak sekarang yang kurang mengenal makanan tradisional karena adanya franchise-franchise makanan baru yang lebih terdengar gaungnya.
Jarang sekali terdengar “Camilan di kotak konsumsi acara kita ada sawut, lepet, dan getuk, nih.” Camilan tradisional tersebut sudah digantikan dengan era camilan olahan tepung terigu. Padahal untuk terigu saja kita masih impor lho. Njuk, kita kudu piye sebagai calon-calon STP?
Pertama, kita kudu PEDULI J  Yep, sadari kalau potensi Indonesia sangat besar untuk bertahan –bahkan- menang dalam “persaingan” di Asean Economic Community. Kemudian? AKSI dong J sebagai calon-calon STP, ada ide nih! Kreasikan saja sumber bahan pangan tersebut pada resep hidangan modern. Contohnya substitusi tepung terigu dengan tepung mocaf. Mengingat kita masih impor terigu, sementara kita punya singkong melimpah. Bisa juga dengan tepung sagu atau bahan pangan lain. Hal ini dapat diwujudkan dengan program P3L (Pengangkatan Produk Pangan Lokal) di tiap-tiap daerah. Mengingat setiap wilayah Indonesia memiliki makanan pokok yang berbeda-beda. Program ini dapat membantu mempopulerkan  potensi bahan pangan yang terdapat di tiap daerah sehingga kita dapat terhindar dari yang namanya kudet (baca: kurang update) tentang sumber bahan pangan potensial.
Bisa juga dengan meninjau nilai gizi bahan pangan tersebut untuk menanggulangi masalah gizi yang disebabkan oleh makanan yang sudah umum. Indonesia adalah negara yang menempati posisi ke-4 di dunia untuk jumlah penderita penyakit kronis tidak menular, seperti diabetes dan jantung koroner. Nah, penyebab penyakit-penyakit tersebut salah satunya adalah tingginya konsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat. Dikarenakan karbohidrat dalam tubuh akan dipecah menjadi gula. Gula yang berlebihanlah yang menyebabkan penyakit diabetes. Oleh sebab itu, bisa nih dikembangkan alternatif pengganti nasi dari sumber bahan pangan lain. Bagi yang belum tahu, sekarang sudah terkenal lho beras analog. Yaitu beras yang komposisinya tidak berasal dari padi. Komposisi beras ini bisa dari beragam sumber pangan lain seperti singkong, sagu, dan sorgum. Menurut saya, beras analog ini merupakan potensi besar untuk kita sebagai calon teknolog pangan untuk menanggulangi ketergantungan kita terhadap beras biasa. Beras analog memang masih jarang ditemukan di pasaran. Jika pun ada, harganya masih lebih mahal dari beras biasa karena belum ada produksi massal.
Nah, kita sebagai calon teknolog pertanian, nantinya dapat mewujudkan impian produksi massal beras analog maupun produk-produk lain berbasis sumber bahan pangan asli Indonesia sebagai wujud diversifikasi pangan. Apalagi 3 jurusan kita saling berkesinambungan = Teknik Pertanian + Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian + Teknologi Industri Pertanian. KLOP deh untuk mempopulerkan produk pangan berbasis sumber bahan pangan lokal ke dunia industri dan perdagangan internasional J




0 komentar:

Post a Comment